Selasa, 04 Maret 2008

Kehidupan di Pesantren Raudhatul Falah

Pondok Pesantren Raudhatul Falah yang terletak di dusun Jumput, desa Kemadu, kecamatan Pamotan, Kebupaten Rembang. Ketika penulis sampai di pesantren itu, bertepatan dengan acara haul leluhur pesantren yang dihadiri oleh masyarakat sekitar wilayah kecamatan Pamotan dan beberapa Kabupaten Rembang. Banyaknya masyarakat yang menghadiri acara hingga berjubel-jubel hingga jalan raya dan rumah penduduk itu, paling tidak bisa menunjukkan secara sekilas bagaimana pesantren ini cukup dipandang dan mempunyai pengaruh yang kuat bagi masyarakat Pamotan dan Rembang secara umum. Jarak tempuh dari Rembang ke pesantren ini sendiri 25 KM, sedangkan dari kota Lasem 17 KM, sedangkan dari Kecamatan Pamotan ada 4 KM. Jika siang hari, dari kecamatan ke pesantren bisa ditempuh dengan kendaraan umum lewat Lasem-Pamotan-Masjid Pamotan. Dari situ kita bisa naik ojek atau becak ke lokasi pesantren.

Pesantren Raudhatul Falah ini berdiri pada tahun 1965, pendirinya adalah KH Ahmad Tamamuddin Munjie yang merupakan guru di Madrasah Mathaliul Falah, Pati dan asli orang Kajen-Pati. Waktu awal berdirinya, dia mengajak 2 santri dari Kajen untuk membantu mengembangkan pesantren. Istri Kyai Tamam sendiri adalah orang Pamotan yang kebetulan nyantri di Pesantren Maslakul Pati di bawah asuhan KH Sahal Mahfudz dan murid KH Tamam di madrasah Mathalik. Pada tahun 1967, mulai datang 20 santri dari daerah Demak. Kemudian dibangun Mushola dan kamar untuk santri, kemudian sejak tahun 1975 mulai datang juga santri putri dari daerah Demak dan sekitarnya untuk nyantri di sini. Sejak awal, pesantren ini ditujukan untuk pendidikan pesantren salaf murni, oleh karenanya tidak dibuka sekolah umum, baik MTs maupun SMA. Menurut Kyai Tamam, hal itu karena dia ingin mendirikan lembaga yang menjadi alternatif, kalau bikin SMP atau SMA, sudah ada lembaga serupa di daerah Pamotan.[1]

Dalam membesarkan dan mengasuh pesantren, Kyai Tamam awalnya dibantu oleh KH Ahmad Thohari dan orang dari Sunda dan Pamotan. Kemudian seiring berjalannya waktu, beliau mendapatkan menantu orang alumni pesantren yang sangat jago membaca kitab dan pernah ngaji di Makkah selama 4 tahun, yaitu KH Wahib Qohar. Selain itu, beliau juga dibantu oleh saudara-saudara istrinya, yaitu KH Zuhdi Ghozali, KH Mansur, dan beberapa alumni pesantren lainnya. Bersama mereka itulah, kyai Tamam memgembangkan Pesantren Raudhatul Falah dan membangun Madrasah Diniyah Mambaul Falah.[2] Pada tahun 1994, Madrasah Diniyyah itu ditambahi dengan Wajib belajar sesuai dengan program Depag dan untuk memudahkan administrasinya dibentuk Yayasan Madrasah Mambaul Falah. Yayasan ini juga membawahi MI Mambaul Falah yang sekarang dipimpin oleh Ulin Nuha, S.Fil.I. Selain ada madrasah, pesantren ini juga mempunyai pesantren putri yang bernama Pesantren al-Husna Raudhatul Falah di bawah asuhan KH Wahib Qohar dan Ibu Anis Zakiyah. Jumlah santri yang tinggal di pesantren hingga saat ini ada 200 orang, sedangkan santri yang belajar di Madrasah Diniyyah ada 500 orang. Jumlah pengasuh, Ustadz, dan guru di pesantren ada 30 orang lebih.

Pada tahun 2004, pesantren ini juga menyelenggarakan Wajardikdas atau setara dengan Paket B di bawah naungan Depag. Hal ini dilakukan, karena ternyata banyak santri yang punya potensi bagus tapi karena terbentur biaya, akhirnya hanya tamat SD/MI dan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Oleh karenanya, program ini diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari problem itu. Usia mereka yang ikut wajar Dikdas di pesantren ini, adalah mereka yang betul-betul masih usia sekolah, yaitu 7-15 tahun. Jumlah santri yang ikut Wajardikdas itu sampai sekarang ada 82 orang. Sebetulnya, ada keinginan juga untuk membuka Kejar Paket C, sebab banyak juga santri atau siswa di Madrasah Diniyyah yang hanya tamat MTs/SMP dan drop out dari MA/SMA karena terbentur biaya. Namun, karena ada kendala biaya, program itu sampai sekarang belum berjalan. Rencananya, bila sangat mendesak untuk dibuka tahun ini, ujiannya akan menginduk di pesantren al-Hidayah Sarang agar biayanya lebih murah.[3]

Meskipun pesantren ini salaf murni, namun metode pembelajarannya tidak bisa dikatakan sebagai murni salaf atau modern. Memang kitab-kitab yang digunakan dan kurikulumnya semua berisi kitab kuning klasik atau salafi murni, namun metode pembelajarnnya sering seperti sekolah umum. Bahkan, juga sering diadakan diskusi dan musyawarah di kalangan santri. Setiap hari Jum’at, pak Malik, seorang ustadz senior di sini, mengadakan kajian ilmiah dengan mengundang berbagai pakar untuk membahas isu aktual sebagaimana dilakukan di kampus-kampus. Pesantren di sini juga sangat dekat dengan masyarakat sekitarnya. Terbukti, meskipun anak-anak mereka yang belajar dan mondok di sini hanya berjumlah sekitar 25 % dari total santri, namun mereka sangat antusias mengikuti kegiatan. Bahkan, setiap hari Selasa, ada Pengajian Bakul-Bakul (PBB) yang diikuti oleh para padagang sekitar Pamotan dengan mendengarkan ceramah dari Kyai Tamam. Menurut Lasmuri, seorang santri senior di sini, pesantren ini menjadi rujukan atau panutan utama hampir seluruh masyarakat di kecamatan Pamotan. Untuk daerah Rembang sendiri, Kyai Tamam adalah kyai yang dituakan bersama dengan KH Maimun Zubair.[4] Bagi kalangan thariqat Qadiriyyah wa Naqsabandiyah sendiri, setelah wafatnya Kyai Hamid dan Kyai Sahid, Kyai Tamam adalah kyai thariqat yang menjadi alternatif rujukan masyarakat.

Dengan kedudukan Kyai Tamam yang saat ini juga menjadi Rais Syuriah NU Rembang dan sekaligus karena keilmuan beliau, maka pesantren ini sering menjadi tempat acara NU Rembang, mulai dari thariqah, bahstul masa’il, hinggga pengajian selapanan. Pesantren ini juga mempunyai tempat yang terhormat di kalangan pesantren-pesantren lain, seperti Pesantren Kemadu, Al-Anwar Sarang (KH Maimun Zubair), Raudhatut Thalibin Rembang (KH Mustofa Bisri), dan pesantren-pesantren lainnya. Untuk urusan politik, pesantren ini cenderung netral. Meskipun, pada awal-awal reformasi Kyai Tamam termasuk salah satu deklarator PKB Rembang. Namun, karena memandang bahwa berpolitik banyak subhat dan madharatnya, maka beliau mundur total dari kegiatan politik. Bahkan ketika putra beliau, Ulin Nuha, pernah menjadi calon anggota DPRD dari PKB, akhirnya dimintainya untuk mundur.[5] Bahkan, ketika Gus Dur akhir-akhir gencar menggelar Masura (Majelis Ulama’ Rakyat) dan ingin menempatkan kegiatannya di pesantren ini, Kyai Tamam kurang berkenan karena takut menimbulkan fitnah dan tidak mendatangkan banyak maslahah.[6]

Hubungan pesantren ini dengan pemerintah setempat sangat baik. Menurut Lurah Desa Sidorejo yang menjadi lokasi pesantren ini, keberadaan Pesantren Jumput (nama terkenal dari Pesantren Raudhatul Falah) sangat bermanfaat bagi warga. Ia sangat membantu dalam kehidupan, termasuk dalam soal pendidikan dan pembinaan moral. Banyak juga alumninya yang jadi orang, ada yang PNS, militer, kyai, dan pejabat birokrasi. Karena pengaruh Kyai Tamam yang cukup diakui, meski beliau tidak terafiliasi dengan partai tertentu, banyak pejabat yang datang ke beliau. Bahkan, hampir semua calon Bupati datang meminta restu dan doa beliau. Ketika Bupati yang jadi sudah dilantik dan mulai bekerja, beliaupun hampir setiap bulan sekali.[7] Sedangkan hubungan pesantren dengan Dinas-dinas yang ada di Kabupaten Jepara juga sangat baik, terutama dengan Dinas Kesehatan, Diknas, dan Departemen Agama. Dengan Diknas, pesantren ini mendapatkan bantuan 2 kali berupa fasilitas pembangunan WC, kamar mandi, kasur, obat-obatan, dan pelayanan gratis untuk santri. Dengan Diknas, hubungan juga cukup baik, terbukti mereka hingga hari ini menerima dana BOS dan beberapa bantuan untuk MI. Sedangkan dengan Depag, sangat baik dan bahkan Kyai Tamam banyak kenal dengan para pejabat di sana. Pesantren selalu dilibatkan dalam kegiatan Depag dan mendapatkan prioritas jika ada program yang bisa dikembangkan untuk pesantren. Program Madin (Madrasah Diniyah) pun mendapatkan bantuan dari Depag.[8] Namun, untuk bantuan dari LSM dan lembaga donor luar negeri, pesantren ini belum pernah mendapatkan.

Pembiayaan pesantren ini murni dari swadaya kyai dan para ustadz, bahkan para ustadznya rela tidak dibayar. Menurut penuturan Lasmuri, manajemen di pesantren ini manajemen ikhlas. Artinya, para ustadznya rela tidak digaji sepeser pun dan imbalannya adalah ikhlas itu. Kadang-kadang, jika lebaran diberikan sarung. Sedangkan untuk pengeluarannya, juga sering tutup lobang gali lobang. Seringkali dana yang ada untuk membangun sebagian gedung dan kalau belum cukup akan mencari hutangan ke berbagai pihak yang mau membantu. Ketika disinggung soal rencana pemakaian internet sebagai sarana pembelajaran santri, Kyai Tamam dan Ustadz-ustadz lainnya sangat antusias. Hanya, mereka berpesan agar internet itu bisa betul-betul mendatangkan manfaat, tidak menimbulkan fitnah dan hal-hal yang buruk. Soalnya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan madharat, biasanya yang disalahkan dan diminta pertanggungjawaban adalah pihak pondok. Selain itu, masyarakat pesantren dan sekitarnya hingga saat ini masih dalam proses belajar, meski pesantren ini sudah berdiri hampir 40 tahun. Menurut mereka, informasi yang diharapkan ditampilkan di internet nanti adalah program yang menunjang wawasan dan pengetahuan santri, soal manajemen, soal pengetahuan umum, dan perkembangan dunia Islam. Pokoknya semua yang berkaitan dengan ilmu, memberikan pencerahan, dan menambah semangat untuk berjihad bagi kemajuan pesantren.[9]

Pesantren Jumput yang terletak di daerah yang cukup miskin ini, keadaannyapun juga cukup miskin juga. Meskipun pendidikannya maju, namun untuk fasilitas-fasilitas modern seperi OHP, mesin fax, video, internet, dan alternatif suplai listrik tidak mempunyai. Namun, dengan semangat dan ruhul jihad yang tinggi, mereka mengatakan akan terus berjuang melakukan pendidikan, meski dengan proses yang pelan-pelan dan fasilitas yang seadanya. Untuk pesantren sendiri, ada 8 ruang untuk putri dan 8 ruang untuk putra. Selain itu juga ada gedung aula dan mushola yang biasanya digunakan untuk pengajian. Untuk Madrasah Diniyyah, gedungnya sangat banyak. Meskipun, ada beberapa yang kondisinya sangat memprihatinkan dan untuk lantai 2 nya masih bekas cor-coran yang belum diteruskan karena kehabisan biaya. Untuk pengelolaan program distance learning, Kyai Tamam mengharapkan bila itu jadi diberikan komputer, hendaknya ditaruh di pesantren sehingga bisa dimanfaatkan semua pihak dan masyarakat juga. Sedangkan untuk pengelolanya, beliau memesan dan mengharapkan dari pihak intern pesantren yang tinggal di sekitar situ dan menetap di pesantren.[10]

Pimpinan pesantren, guru-guru, dan santri di Pesantren Jumput ini umumnya berpandangan moderat, meskipun belum masuk kategori pluralis dan liberal. Mereka tidak mempermasalahkan tentang demokrasi dan Islam, hanya mengkritik demokrasi di Indonesia yang belum berjalan secara baik. Prinsip dan nilai demokrasi sendiri juga dicoba diterapkan di pesantren, seperti adanya pertemuan triwulan antara pengurus dan santri. Selain itu juga ada forum bahtsul masa’il untuk membahas tentang berbagai hal. Dalam soal hubungan antara Muslim dan non Muslim, mereka juga tidak mempermasalahkan, asalkan tidak berbenturan dengan prinsip akidah dan agama. Jika mereka menerima bantuan dari non Muslim, tidak ada masalah asalkan tidak ada pesanan dan keharusan yang memaksa dan melanggar ajaran Islam. Sedangkan soal pendirian tempat ibadah, mereka minta agar kita semua menaati peraturan pemerintah tentang perlunya izin mendirikan tempat ibadah itu. Untuk soal relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam, menurut mereka itu harus dilihat dari konteks dan persoalannya. Namun, asalkan tidak menabrak ayat-ayat Al-Qur’an dan nilai agama, mereka masih bisa menerima perempuan berkiprah di ruang publik. [11] Dari situ tampak, bahwa mereka menerima gagasan baru dan siap bekerjasama dengan pihak luar.

Kerjasama dengan Kantor Departemen Agama

Selama ini pihak Depag Rembang telah banyak melakukan kerjasama dengan pesantren-pesantren di lingkungan dinasnya, termasuk dengan Pesantren Raudhatul Falah Dalam setiap acara besar yang diselenggarakan oleh pesantren, pihak Depag umumnya mengirimkan utusannya, dan bahkan tak jarang Kepala Kandepag sendiri yang datang menghadiri acara itu. Sesuai dengan tradisi pesantren yang masih kental di Rembang, umumnya pihak Depag juga sangat menghormati Pesantren-pesantren besar yang kyainya berpengaruh dan menjadi tokoh rujukan umat. Dalam setiap acara yang diselenggarakan Depag pun, misalnya: lomba MTQ, lomba Kaligrafi, Lomba Karya Ilmiah, pertemuan pemberian bantuan dana, dan sebagainya, pesantren-pesantren juga diundang.

Biasanya, dalam pendataan EMIS Depag, semua pesantren diundang untuk memperbarui data mereka dan sekaligus pengumuman tentang pembukaan Wajar Dikdas. Hingga saat ini, banyak pesantren yang menjalin kerjasama dengan Depag, baik secara informal maupun kerjasama tidak resmi. Sedangkan yang resmi bekerjasama, ada 4 (empat) pesantren. 4 pesantren ini semuanya membuka Wajar Dikdas, sehingga hubungan dengan Depag sangat intensif, baik ketika memberikan laporan, memberikan data, penyelenggaraan ujian, pemberian dana BOS, dan ujian kelulusan. Keempatnya adalah: Pesantren Al-Hidayah di Sarang, Lasem; Pesantren Nurol Firdaus di Sulang; Pesantren Putri Mis Nurul Kholil di Sarang; dan Pesantren Raudhatul Falah di Jumput, Pamotan.[5] Dari penjelasan di atas, kerjasama dengan Departemen Agama Rembang untuk program distance learning di pesantren ini, sangat terbuka dan mereka sangat berkomitmen untuk mendukung dan membantunya. Terlebih lagi, Pesantren Raudhatul Falah selama ini sering dilibatkan dalam kegiatan Depag dan dihormati dilingkungan Depag serta Kabupaten Rembang.

Kerjasama dengan Kantor Dinas Pendidikan Nasional Dan Jardiknas

Dibandingkan dengan Departemen Agama, selama ini Pesantren-pesantren di Rembang tidak seintensif bekerjama dengan pihak Diknas Rembang. Meskipun ada, tapi tidak sebanyak seperti yang menjalin kerjasama dengan Depag. Hal ini wajar terjadi, karena selama ini Diknas lebih banyak bersentuhan dengan sekolah-sekolah umum seperti SD, SMP, SMA, dan SMK, dibandingkan dengan pihak Depag yang mengurusi sekolah agama dan pesantren. Selain itu, seperti sudah ada kesepakatan tak tertulis, bahwa tugas Depaglah yang bertugas mengurusi pesantren, sedangkan Diknas mengurusi sekolah umum. Pihak pesantren pun, agak segan dan kurang familiar dengan pihak Diknas dibandingkan dengan pihak Depag.[6] Maka, tidak heran jika program Kejar Paket B dan C yang ada dan ditangani oleh Diknas, selama ini ditangani oleh PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang berpusat di Kecamatan dan Kelurahan. Memang ada satu pesantren yang menjalin kerjasama dengan Diknas, yaitu Pesantren Al-Hidayah di Lasem yang menyelenggarakan Kejar Paket C.[7] Meski begitu, tidak menutup kemungkinan mereka akan bekerjasama dan siap membantu bagi pesantren yang akan menyelenggarakan Paket C.



[1] Hal ini antara lain dilakukan oleh pak Sahuri, Staf Ahli Mapenda Depag Rembang, yang sejak awal bersedia diwawancarai penulis dan membantu mengenalkan ke bagian Pekapontren dan memberikan surat ke Kandepag.

[2] Wawancara dengan Athoillahi, Kasi Mapenda Depag Rembang, 23 April 2007. Juga wawancara dengan Sahuri, Staf Ahli Mapenda Depag Rembang, 20 April 2007.

[3] Wawancara dengan Ibu Sofiyati, Staf Ahli Pekanpontren Depag Rembang, 20 April 2007.

[4] Penegasan ini disampaikan oleh pak Atho’illah, Pak Sahuri, Ibu Sofiyanti, dan pak Edi dalam wawancara di Depag Rembang, 20 April 2007 dan 23 April 2007.

[5] Wawancara dengan Ibu Sofiyati, Staf Ahli Pekanpontren Depag Rembang, 20 April 2007. Juga dengan Edi, Staf Pekapontren, pada kesempatan yang sama.

[6] Penjelasan ini diberikan oleh Ulin Nuha, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah MI Mambaul Falah yang selama ini sering menangani urusan kerjasama Pesantren Raudhatul Falah Jumput, wawancara, 22 April 2007.

[7] Penjelasan ini diberikan oleh pak Suyanto, Kasi PLS Diknas Depag Rembang, dalam wawancara dengannya pada 23 April 2007.

[8] Komitmen ini diberikan pak Suyanto Kasi PLS Diknas Depag Rembang, dalam wawancara dengannya pada 23 April 2007. Bahkan beliau memberikan no hp, alamat rumah, dan no telpon rumahnya juga agar bias setiap saat membantu. Ketika ditanya kenapa beliau begitu antusias, menurutnya karena dia merasa pernah dibantu orang pesantren dan bertetanga dekat dengan KH Maimun Zubair serta mengenal KH Ahmad Tamamuddin Munjie.Alasan lainnya, kalau untuk kemajuan rakyat kecil, kenapa harus susah-susah dan gak mau membantu.

[9] Wawancara dengan pak B. Widyarso, Kasi Bina Program Diknas Rembang, 24 April 2007. Pada kesempatan itu, pak Widyarso juga memberikan komitmen untuk membantu pelaksanaan program distance learning ICIP dan pesantren yang akan masuk ke jardiknas itu.




[1] Wawancara dengan KH. Ahmad Tamamuddin Munjie, 19 April 2007

[2] Wawancara dengan KH Zuhdi Ghozali, Ustadz senior di Madrasah Mambaul Falah dan mantan anggota DPRD Rembang dari PPP pada era 90-an, 20 April 2007

[3] Wawancara dengan Anis Zakiyah, Pengelola Wajar Dikdas Pon Pes Raudhatul Falah, 19 April 2007

[4] Wawancara, 19 April 2007

[5] Sebagaimana dituturkan oleh KH Tamamuddin Munjie dan Ulin Nuha sendiri dalam wawancara, 19 April 2007

[6] Hal ini disampaikan oleh Ubaidillah Achmad, putra beliau yang kerja di Ditperta Depag dan kebetulan sedang pulang ke Pamotan, 23 April 2007

[7] Wawancara, 21 April 2007. Hal ini dikuatkan dengan penjelasan dari Lasmuri sebagai orang yang tiap hari ada di pesantren dan membantu Kyai, wawancara, 22 April 2007.

[8] Wawancara dengan KH. Ahmad Tamamuddin Munjie, 19 April 2007

[9] Selain dari Kyai Tamam, daftar harapan dan masukan ini juga diperoleh dari Ulin Nuha dan Lasmuri, serta Harun ar-Rasyid.

[10] Hal ini disampaikan oleh Kyai Tamam dalam wawancara, 19 April 2007 dan beberapa pertemuan informal lainnya

[11] Berdasarkan wawancara dengan KH Tamamuddin Munjie, Ibu Anis Zakiyah, dan Ulin Nuha, 19 April 2007.

Desa Sidorejo (Pamotan, Rambang)

Demografi

Pondok Pesantren Raudlatul Falah yang terletak di dusun Jumput, desa Sidorejo yang secara administratif berada di bawah Kecamatan Pamotan. Desa Sidorejo ini terletak di bagian Selatan kota Kecamatan Pamotan. Dari Pamotan sendiri, jaraknya kira-kira 7 KM. Desa yang berjumlah penduduk 8000 orang ini, terletak di daerah pedesaan yang dikelilingi sawah dan ladang-ladang. Matapencaharian mereka rata-rata adalah petani, itupun karena air susah didapatkan dan meski ada sungai tapi airnya dialirkan ke kota, jadinya panen hanya bisa dilaksanakan satu tahun sekali. Jika ada yang dua kali setahun, itu harus mengambil air dengan menggunakan tenaga diesel yang biasanya tidak sedikit. Contoh: untuk memberi air lahan seluas 100 meter saja, dibutuhkan pemasangan diesel air selama 5 jam yang harus dilakukan selama paling kurang 3 hari. Jadi biaya yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 300 ribu, jumlah yang tidak sedikit bagi penduduk desa Sidorejo. Selebihnya, bila ada petani atau penduduk yang kaya, mereka akan menanam jenis tanaman lain seperti palawija atau buah-buahan.[1] Namun, karena air di desa Sidorejo dan kecamatan Pamotan secara umum banyak yang dialirkan ke kota Rembang, jadinya tanah daerah ini sangat tidak bersahabat dengan tanaman selain padi. Pernah ada yang mencoba menanam buah melon, tapi setalah memakan biaya hampir Rp 30 juta, tanaman melon itu belum bisa dipanen dan tidak menghasilkan apa-apa. Untuk menyiasati biaya yang tidak sedikit itu, banyak penduduk yang sawahnya ditanami Tebu yang dipanen setahun sekali dan tidak membutuhkan biaya banyak.[2]

Berdasarkan data monografi desa Sidorejo, desa ini terdiri dari 4 pedukuhan. 99 % agama yang dianut penduduk desa ini adalah Islam. Dan rata-rata anak usia sekolah masuk ke sekolah agama (madrasah) dibandingkan ke sekolah umum. Di desa ini sendiri terdapat 2 buah masjid besar, yaitu masjid di dekat pesantren Radhatul Falah di dusun Jumput dan masjid yang terletak di desa Lengkong. Sedangkan Pondok Pesantren Raudhatul Falah yang ada di dusun Jumput adalah satu-satunya pesantren yang ada di desa ini. Sekolah yang ada di desa ini adalah 1 Madrasah Ibtidaiyah Mambaul Falah, 1 Madrasah Diniyah Mambaul Falah yang terdiri dari tingkatan Ula, Wustho, dan Ulya, dan 1 TK/RA. Untuk fasilitas telepon, di desa ini tidak ada wartel sama sekali dan telepon umum melalui Telkom tidak bisa masuk karena sinyalnya jelek dan tidak ada kabel. Bila mau memasang kabelnya, dari kota Kecamatan terlalu jauh.[3] Pemerintahan desa ini juga sangat aktif bekerjasama dengan pesantren dan masjid-masjid. Dalam setiap kegiatan publik pesantren seperti Haul, Haflah Akhirus Sanah, Peringatan Isra’ Mi’raj, Khataman, Sema’an, dan sebagainya, aparat desa pasti memerlukan hadir. Di desa ini juga ada perpustakaan desa yang diperuntukkan untuk masyarakat umum yang hingga saat ini masih berjalan meski dengan keadaan seadanya. Padahal, Perpustakaan Desa ini pada tahun 1989 dulu pernah mencetak prestasi gemilang sebagai Juara Pertama Tingkat Karisidenan Pati yang terdiri dari Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, dan Purwodadi.[4] Untuk Lomba Desa, Sidorejo saat ini sedang bersiap-siap mewakili Kecamatan Pamotan untuk tampil di Kabupaten Rembang.

Kesejahteraan

Dilihat dari tampilan fisiknya saja, tampak bahwa masyarakat di sana rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Rumah-rumah mereka kebanyakan terdiri dari rumah kayu dan bambu. Jarang sekali yang bangunannya semua dari batu bata dan seperti umumnya rumah di perkotaan. Jalan-jalan di desa ini pun, tidak ada yang beraspal. Kalau pun ada jalan bagus, rata-rata masih berupa makadam (calon diaspal). Mayoritas penduduk di sana pun, hidup di bawah garis UMR, yaitu berpenghasilan Rp 7.500-15.000 sehari. Akibatnya, banyak sekali anak usia sekolah yang tidak bisa meneruskan pendidikan sekolah umum yang biayanya tidak rendah. Generasi-generasi penerus bangsa ini pada dasarnya sangat berkinginan untuk maju, namun semuanya terbentur oleh biaya. Walhasil, banyak anak usia sekolah yang akhirnya bersekolah di Madrasah Diniyah yang bayarnya Rp 2.500,- perbulan, juga bisa berdasarkan kemampuan dan bisa dihutang. Sebagian lainnya bekerja menjadi sopir dan buruh pabrik di Surabaya dan Jakarta. Persentase dari seluruh penduduk, hanya 20 % yang sekolah di SLTA, sedangkan yang di SMP/SLTP hanya 60-70 %. Padahal, saat ini pendidikan dasar 9 tahun mestinya sudah dinikmati seluruh penduduk dari seluruh penjuru negeri.[5]

Penduduk desa ini pun, hampir semuanya mendapat raskin (beras miskin). Meskipun, karena raskin itu sendiri terbatas, maka pembagiannya menjadi kurang merata. Padahal, jika dihitung secara kuantitas, dari jumlah 8000 penduduk desa Sidorejo, 50 % persennya adalah keluarga miskin. Oleh karena itu, setiap mereka mendapatkan jatah beras miskin, pembagiannya 10 Kg untuk keluarga tidak mampu, dan jumlah itu meliputi 487-500 KK (kepala keluarga). Yang tidak dapat, menurut mereka, hanya pemerintah desa dan kyai saja.[6] Jumlah pengangguran di desa ini juga menduduki angka yang tinggi, pada musim kemarau jumlahnya bisa mencapai 50 %. Hal itu karena mereka umumnya bekerja sebagai buruh di sawah (tidak memiliki lahan sendiri). Jika masuk musim panen atau hujan, penganggurannya bisa menyusut menjadi 15-20 %. Penduduk yang berpenghasilan sehari Rp 25.000,- adalah para tukang kayu atau batu. Mereka ini menduduki posisi pendapatan tertinggi, namun sangat jarang sekali penduduk yang berprofesi demikian. Mungkin persentasenya hanya berkisar 5 – 10 % saja.

Pendidikan

Sesuai dengan rekapitulasi data yang dihimpun oleh Mapenda Diknas Rembang, jumlah MI (Madrasah Ibtidaiyah) seluruhnya adalah 36 buah. Sedangkan jumlah muridnya laki-laki adalah 2.571 orang, perempuannya 2.617 orang. Jumlah total siswa MI adalah 5.188 orang. Sedangkan untuk tingkat MTs (Madrasah Tsanawiyah) atau setingkat SMP, jumlah sekolahnya adalah 33 buah. Sedangkan jumlah siswa MTs yang laki-laki adalah 4.001 siswa, untuk perempuannya berjumlah 4.728. Jumlah total seluruh siswa MTs adalah 8.729 siswa-siswi. Jumlah sekolah untuk tingkat MA (Madrasah Aliyah)/setingkat SMA dan SMK, jumlahnya hanya sepertiga dari jumlah MI dan MTs, yaitu 13 buah. Jumlah siswa MA adalah 1.790 orang, sedangkan jumlah siswinya adalah 1.901 orang. Sedangkan jumlah total siswa-siswi MA adalah 3.691 orang.[7] Jika kita lihat, perbandingan tingkat jumlah siswa antara Pondok Pesantren dan siswa sekolah formal itu, memang sangat signifikan. Jika jumlah santri di pondok pesantren belum termasuk yang pulang pergi adalah 17.881 orang, sedangkan jumlah total siswa MTs dan MA adalah 12.420. Jumlah siswa MI tidak dijadikan perbandingan, karena biasanya orang yang mondok di pesantren itu umumnya setelah tamat MI. Menurut Kasi Mapenda Depag Rembang, rata-rata sekolah yang ada terpisah dari pesantren. Meski ada pesantren yang membuka sekolah formal, itu jumlahnya tidak signifikan dibandingkan dengan pesantren yang menganut sistem salaf murni.[8]

Seperti yang sudah disinggung dalam soal kesejahteraan di atas, karena kemiskinan yang melilit dan mendera kehidupan mayoritas penduduk desa ini, soal pendidikan sangat terkena imbasnya. Anak-anak usia didik mereka rata-rata hanya mampu menamatkan jenjang SD, sebagian kecil SMP, dan hanya dalam hitungan jari saja yang tamat SMA. Yang meneruskan SMA ini adalah orang yang agak mampu secara ekonomi. Hal itu dikarenakan biaya sekolah umum yang tidak murah, di samping juga karena jarak antara desa Sidorejo menuju Kecamatan Pamotan yang terdapat MTs/SMP dan SMA Negerinya, cukup lumayan jauh. Bahkan, untuk beberapa tahun kemarin, karena mayoritas masyarakat hanya punya sepeda, untuk mereka yang masuk dan sekolah di MI Mambaul Falah, disediakan angkutan mobil bak terbuka untuk menjemput mereka. Namun, alhmadulillahnya sekarang banyak yang bisa berangkat sendiri dengan naik sepeda.[9] Walhasil, kebanyak penduduk desa ini yang menamatkan SD/MI, tapi masih punya semangat belajar yang tinggi namun terbentur oleh biaya dan kemampuan orang tua, akhirnya kebanyakan masuk ke Madin (madarasah diniyah) yang berada di bawah naungan pesantren Raudlatul Falah. Sedangkan bagi anak usia sekolah yang tidak sekolah, baik umum maupu agama, jumlahnya sangat kecil 20-25 orang. Alasannya mereka ada yang mau nikah, tidak mampu, dan ada juga yang harus membantu orang tua. [10]

Tentang minimnya tingkat partisipasi pendidikan di Rembang ini, juga ditegaskan oleh Pak B. Widyarso, Kasi Pembinaan Program di Diknas Rembang. Menurut beliau, APK (angka partisipasi kasar) SMP/SLTP tahun 2006/2007 pada usia 12-15 tahun masih berjumlah 86,30 %. Padahal, target APK untuk MTs/SLTP tahun 2008/2009 adalah 90 %. Masih ada kekurangan 3,70 % lagi untuk memenuhi target yang tinggal setahun itu. Meski tingkat APK untuk SLTP sudah lumayan bagus, namun untuk tingkat SLTA menunjukkan angka yang memprihatinkan, yaitu masih di bawah 36 %. Artinya, anak-anak usia sekolah 16-18 tahun sangat banyak yang belum sekolah atau tidak sekolah. Hal itu bisa jadi karena faktor orang tua, soal kesulitan ekonomi, fanatik terhadap SMA tertentu, jumlah SLTA masih belum terjangkau atau memadai dengan jumlah penduduk, dan sebagainya. [11]

Pendidikan yang Dibutuhkan

Berdasarkan realitas seperti itu, maka pendidikan yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat Rembang, khususnya desa Sidorejo adalah pendidikan tingkat SMP dan SMA, baik yang bersifat formal maupun informal. Yang informal, yaitu Wajardikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun), sebetulnya di Pesantren Raudlatul Falah sendiri sudah ada. Program yang didanai oleh Departemen Agama itu mulai dibuka pada tahun 2005 dan pada tahun baru pelajaran 2007/2008 nanti akan masuk usia yang ketiga. Wajardiknas yang setingkat dengan Kejar Paket B itu, rata-rata diikuti oleh para santri pesantren dan siswa madrasah diniyyah yang memang masuk kategori usia sekolah, yaitu 12-15 tahun. Waktu pelaksanaan pendidikan program ini adalah 1 minggu 3 kali, biasanya mengambil hari Jum’at, Sabtu, dan Minggu mulai dari jam 08.00-12.00.[12] Dan para santri pun, sangat antusias untuk mempelajari modul yang diberikan dan tampak sangat bergairah dalam mengikuti pelajaran. Pembagian jadwal program Wajardikdas ini, juga sangat diupayakan tidak bertabrakan dengan program pelajaran wajib sekolah di madrasah diniyah dan kegiatan di pesantren. Sehingga, siswa yang mengikuti program ini, juga bisa mengikuti pelajaran di madrasah diniyah dan kegiatan di pesantren secara maksimal juga.

Pendapat di atas dikuatkan oleh Lurah Sidorejo,. Harun Ar-Rasyid. Beliau menyatakan bahwa jika dilihat di statistik desa, menunjukkan bahwa dari jumlah siswa MI/SD se Pamotan, biasanya yang bisa meneruskan ke jenjang MTs/SMP bisa mencapau 90 %, namun dari total siswa MTs/SMP, nantinya yang bisa meneruskan ke jenjang SMA menyusut menjadi 40-45 %. Itu untuk semua wilayah Kecamatan Pamotan, sedangkan untuk Sidorejo, jumlahnya lebih kecil lagi. Oleh karenanya, kejar Paket B dan Kejar Paket C sangat dibutuhkan di desa Sidorejo ini. Meski sudah ada Paket B (wajar dikdas), tapi itupun jiuga masih banyak penduduk yang belum mengikutinya. Dan yang lebih dan paling banyak dibutuhkan adalah bagaimana membuka program Paket C di desa ini.[13] Sebetulnya, Pesantren Raudhatul Falah sendiri pernah mencoba berinisiatif untuk membuka program Paket C. Namun, menurut KH Ahmad Tamamuddin Munjie, Pengasuh Pesantren ini, program itu diurungkan karena terlalu banyak resikonya. Resiko yang dimaksudkan adalah biaya yang dibutuhkan agar program itu terus berjalan. Jadi, tujuannya agar ketika sudah dibuka, program ini tidak berhenti di tengah jalan, namun bisa jalan terus dan betul-betul bisa membantu masyarakat sekitar.[14]

Pihak Kelurahan atau Pemerintahan Desa sendiri, sangat antusias dan berkomitmen untuk mendukung sepenuhnya bila ada pihak atau lembaga yang mau membantu pelaksanaan atau pembukaan program Paket B dan C di desa Sidorejo. Mereka mengharapkan agar segenap warga masyarakat yang belum memiliki ijazah SMP atau SMA untuk mengikutinya, bahkan jika perlu semuanya dihimbau dan diinstruksikan untuk mengikuti program ini. Antusiasme mereka ini, terjadi karena menurut mereka program ini sangat bernilai dan sangat bermanfaat bagi kemajuan masyarakat. Oleh karenanya, harus didukung agar menghasilkan sebuah kesuksesan yang gemilang.[15] Pengakuan senada juga disampaikan oleh Lasmuri atau Gembul. Dia adalah santri senior di Raudlatul Falah dan selama ini banyak menjadi pembantu dan penghubung pesantren dengan masyarakat dan keluarga santri. Julukan Gembul ini diberikan karena dia berasal dari desa Gembul yang juga masih berada di wilayah kecamatan Pamotan. Komitmennya yang sangat tinggi terhadap Pesantren, menjadikan dia tetap tinggal di pesantren dan bahkan, setelah menikah yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini, dia akan tetap bertekad tinggal di pesantren guna mengabdikan diri pada keluarga kyai dan kemajuan pesantren. Menurut dia, Program Kejar Paket B dan C ini sangat dibutuhkan oleh santri dan masyarakat. Dan jika benar-benar dibuka atau yang sudah ada (Wajar Dikdas) dikembangkan, dia yakin akan banyak peminatnya dan mempunyai potensi yang bagus.[16]

Karena susahnya mendapatkan pekerjaan di desa Sidorejo dan jika ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi biayanya tidak sedikit, memang banyak pemuda dan anak usia sekolah di desa ini yang menganggur. Pengangguran ini, termasuk di dalamnya kategori orang yang kerja secara musiman di pabrik atau bangunan di Surabaya dan Semarang, serta sebagian lagi yang kerja menjadi kenek truk angkutan barang atau buah antar kota. Oleh karenanya, jika Program Paket B dan C ini dibuka, anak-anak usia sekolah itu pasti akan banyak yang berminat untuk meneruskan sekolahnya lagi. Terlebih lagi, jika model program Paket B dan C-nya seperti Wajar Dikdas yang sudah berjalan di Pon Pes Raudhatul Falah ini, yaitu gratis dan ditanggung semuanya. Hal ini dimungkinkan karena program ini mendapatkan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diberikan oleh Diknas dan disalurkan melalui Depag.[17] Tentang pendidikan SMP dan SMP atau Kejar Paket B dan C ini, juga ditegaskan oleh Ibu Sofiyati, Staf Ahli Pekaponten (Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren) Depag Rembang. Menurutnya, pendidikan dan ijazah itu sangat dibutuhkan untuk mengangkat SDM santri dan melapangkan peluang karir mereka di masa depan. Sebab, daerah Rembang yang dikenal sebagai kota santri dan gudangnya pesantren ini, banyak sekali potensi dan bibit-bibit calon pemimpin nasional yang bagus, cerdas, dan berbakat, namun seringkali laju karir atau masa depan mereka terhambat karena tidak adanya ijazah formal yang dipersyaratkan untuk mengisi kursi-kursi di lembaga pemerintahan atau dinas-dinas lainnya. Oleh karenanya, pembukaan dan pengembangan kejar Paket B dan C di pesantren yang dekat dan berpengaruh dengan komunitas sekitarnya sangat perlu diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya.[18]

Sebetulnya, disamping Kejar Paket B dan C, life skills juga sangat dibutuhkan di desa Sidorejo khususnya dan masyarakat Rembang pada umumnya. Hal itu dikarenakan mereka umumnya terjerat kemiskinan karena tidak mempunyai kemampuan dan ketrampilan hidup yang layak dan mampu menjawab perkembangan zaman. Sawah yang hanya bisa panen setahun sekali itu, menurut mereka juga karena kurangnya life skills yang mereka miliki. Ketika ditanyaa tentang apa saja life skills yang diharapkan bisa menolong kehidupan masyarakat desa itu, umumnya jawaban mereka senada. Yaitu mereka sangat membutuhkan life skills yang bisa menambah kemampuan hidup mereka pada masa yang akan datang. Pertanyaan besar yang butuh segera dijawab adalah setelah lulus sekolah atau mondok di pesantren nanti mau kerja apa? Oleh karenanya pelatihan peternakan, ketrampilan menjadi petani yang cerdas dan baik, teknik perbengkelan, menyopir, adalah contoh life skills yang mereka nantikan. Jadi, menurut sebagian dari mereka, yang dibutuhkan tidak mengaji, tapi juga bisa menghadapi hidup.[19] Kebutuhan life skills semacam itu juga diungkapkan oleh Lurah Sidorejo. Menurut beliau, banyak pemuda yang menganggur, juga karena tidak adanya ketrampilan hidup yang mereka kuasai secara memadai. Oleh karenanya, jika diberikan kesempatan atau bantuan untuk menyelenggarakan life skills, mereka ingin mengadakan life skills yang khusus memberi manfaat pada perbaikan kehidupan sehari-hari. Misalnya; perlunya ketrampilan untuk petani agar bisa menciptakan pupuk murah dan bisa panen setahun lebih dari 1 kali, belajar ukir-ukiran, membuat kerudung dan menempel pernak-perniknya bagi remaja putri, membuat baju, jahit dan obras, pertukangan, perbengkelan, dan teknik menyopir.[20]



[1] Data Monografi Desa Sidorejo tahun 2006. Dari jumlah 8000 itu, 1200-2500 terdiri dari penduduk usia dewasa. 75 % berprofesi sebagai petani, 25 % PNS, pedagang, dan pengemudi. Sedangkan 30-40 % menjadi buruh, baik di daerah Rembang maupun kota lainnya.

[2] Wawancara dengan Masrukin, guru MI Mambaul Falah dan mantan pekerja di pabrik kota Rembang, 25 April 2007.

[3] Data Monografi Desa ditambah dengan Wawancara dengan Lurah Desa Sidorejo, Harun Ar-Rasyid, 21 April 2007.

[4] Wawancara dengan Lurah Sidorejo, Harun Ar-Rasyid, 21 April 2007.

[5] Wawancara dengan Ulin Nuha, tokoh masyarakat dan Kepala Sekolah MI Mambaul Falah, 19 April 2007.

[6] Wawancara dengan Harun Ar-Rasyid, Lurah Desa Sidorejo, 21 April 2007.

[7] Lihat Rekapitulasi Data Siswa Siswa Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah Tahun Pelajaran 200/2007 Kabupaten Rembang, Mapenda Depag Rembang.

[8] Wawancara dengan Athoillah, Kasi Mapenda Depag Rembang, 23 April 2007

[9] Sebagaimana dituturkan oleh Ulin Nuha dalam obrol informal tentang perkembangan siswa sekolah di desa Sidorejo, 23 April 2007.

[10] Wawancara dengan Harun Ar-Rasyid, Lurah Desa Sidorejo, 21 April 2007 dan ditambah dengan data monografi Desa Sidorejo.

[11] Wawancara dengan B. Widyarso, Kasi Bina Program Diknas Rembang, 25 April 2007. Data-data seputar pendidikan di Kabupaten Rembang juga bisa dicek di www.diknasjateng.kabrembang.dna dan http. nisn.jardiknas.org atau www.jardiknas.org

[12] Wawancara dengan Anis Zakiyah, Pengelola Wajar Dikdas Pesantren Raudlatul Falah dan sekaligus pengasuh pesantren Putri Al-Husna Raudlatul Falah, 19 April 2007.

[13] Wawancara, 21 April 2007

[14] Wawancara dengan KH Tamamuddin Munjie, Pengasuh Pon Pes Raudhatul Falah, 19 April 2007.

[15] Komitmen ini ditegaskan langsung oleh pak Harun ar-Rasyid selaku Lurah dan pimpinan tertinggi pemerintahan desa Sidorejo di hadapan peneliti pada 21 April 2007

[16] Wawancara dengan Lasmuri, santri senior Ponpes Raudhatul Falah, 19 April 2007.

[17] Wawancara dengan Lasmuri, 19 April 2007. Juga penegasan dari Ibu Anis Zakiyah tentang program Wajar Dikdas itu, 19 April 2007.

[18] Wawancara dengan Ibu Sofiyati, Staf Ahli Pekapontren Depag Rembang, 20 April 2007

[19] Wawancara dengan Lasmuri, Santri Senior Pon Pes Raudlatul Falah, 19 April 2007

[20] Wawancara dengan Harun Ar-Rasyid, Lurah Desa Sidorejo, 21 April 2007.

Kontak

Alamat:

Pengunjung ke